Senin, 05 Mei 2014

Perhitungan dan Kewajiban Biaya CSR dengan Pajak

Kewajiban CSR sebagai Instrumen Pemotongan Pajak
Bagaimanakah wacana CSR sebagai instrumen pemotongan pajak? Masalah apa saja yang muncul sehubungan dengan kewajiban CSR sebagai Instrumen pemotongan pajak?
Kewajiban CSR sebagai Instrumen Pemotongan Pajak

Menurut Alyson Warhust, CSR didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negative dan memaksimalkan dampak positif operasi perusahaan seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Definisi ini sesuai dengan konsep triple bottom line atau piramida CSR Archie Carrol yang sangat terkenal.
Di dalam piramida tersebut dijelaskan bahwa tanggung jawab untuk menjalankan bisnis sesuai dengan norma-norma positif yang didukung oleh masyarakat luas dimana bisnis itu beroperasi ditaruh di tingkat tiga. Tingkat pertama adalah tanggung jawab ekonomi (mencari keuntungan), kedua adalah tanggung jawab untuk patuh terhadap hukum yang berlaku dan di puncak piramida adalah tanggung jawab tambahan atau fiduciary.
Di Indonesia, Corporate Social Responsibility (CSR) diatur ketat dalam regulasi melalui Pasal 74UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal 15 huruf (b) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. CSR tersebut dianggap sebagai bagian dari kewajiban yang dilekati sanksi. Meskipun hal tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini karena dianggap tidak sesuai dengan konsep asli CSR yang sifatnya sukarela dan tidak diatur oleh regulasi ataubeyond regulation. Meskipun demikian, CSR telah ditegaskan sebagai kewajiban melalui PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 yang sifatnya final dan binding. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana implementasi CSR sebagai kewajiban tersebut setelah dikeluarkannya Putusan MK tersebut? Dampak apa sajakah yang timbul?
Masalah lain yang muncul adalah masalah penyediaan dana CSR terkait erat dengan kondisi perpajakan, apabila dilihat dari perspektif perusahaan. Dari sudut Pajak Penghasilan (PPh), perusahaan biasanya harus memilih strategi sehingga semua biaya yang dikeluarkan untuk program CSR yang dipilih dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi laba kena pajak. Sementara dari sudut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perusahaan biasanya memilih strategitertentu sehingga barang atau jasa yang diberikan kepada pihak penerima tidak terhutang PPN atau kalaupun terhutang diupayakan seminimal mungkin.
CSR bagi perusahaan adalah pengeluaran, begitu pula dengan pajak yang harus mereka bayarkan. Sederhananya, membayar pajak sekaligus mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR berarti pengeluaran ganda bagi perusahaan. Perhitungan ekonomis akan melihat pengeluaran ini sebagai kerugian perusahaan.
Oleh karena itu, para pengusaha mendorong Pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atas implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang pembebasan pajak dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Pasalnya, saat ini perseroan terpaksa harus rela dipotong anggaran CSR-nya hanya untuk pajak CSR sebesar 30-35%. Padahal, di Amerika Serikat misalnya, dengan pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat sipil, maka perusahaan yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam kategori 501 (c) 3, akan mendapatkan pemotongan pajak. Hal tersebut juga terjadi di beberapa negara Eropa.
Oleh karena itu, kabar mengenai akan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) tentang pengurangan pajak yang drafnya selesai dibahas pada 30 November mendatang mendapat banyak masukan dari para pengusaha. RPP ini merupakan turunan dari UU No 36 Tahun 2008tentang Perubahan Keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Di dalam RPP tersebut, donasi untuk kegiatan sosial atau filantropi akan menjadi pengurang pembayaran pajak penghasilan (PPh) pribadi maupun perusahaan. Para pengusaha berharap RPP tersebut juga mengatur mengenai pengurangan pajak untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR).
Meskipun pemotongan pajak (tax deduction) merupakan bentuk yang popular di luar negeri dan menjadi wacana yang hangat di negeri ini, namun keberlakuannya di Indonesia tetap memerlukan pertimbangan masak-masak. Pertama dan merupakan hal yang penting adalah pemotongan pajak dapat menjadi isu yang sensitif dan berpotensi membuat jarak yang lebih besar di antara perusahaan dan pemangku kepentingan saat ini yang sebenarnya berada dalam kondisi yang dapat dikatakan low trust. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah solusi atas permasalahan tersebut? 
Kedua, pemotongan pajak yang merupakan salah satu bentuk insentif pajak harus mempertimbangkan kinerja. Sistem insentif bagi yang berkinerja tinggi haruslah diimbangi dengan sistem insentif bagi yang kinerjanya rendah demi terciptanya keadilan

Perlakuan PPh Terhadap Biaya CSR Perusahaan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan terakhir dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, telah mengatur tentang perlakuan Pajak Penghasilan atas pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan dalam rangka Corporate Social Responsibility (CSR). Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, j, k, l, dan m, di mana ditegaskan bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap BUT), ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk di antaranya adalah :
  • sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  • sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  • biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  • sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
  • sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Nah, berdasarkan ketentuan tersebut, lima bentuk CSR yang pengeluarannya dapat dibiayakan dalam rangka menghitung PPh terutang akan diatur oleh Peratura Pemerintah. Walaupun Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 telah berlaku sejak 1 Januari 2009, namun ternyata Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perlakuan biaya CSR ini baru terbit tanggal 30 Desember 2010, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan
Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Penulis mencoba menyajikan kembali ketentuan PP Nomor 93 Tahun 2010 ini dalam bentuk tulisan singkat di bawah ini.
Bentuk CSR
Berdasarkan Pasal 1 PP 93 Tahun 2010, bentuk pengeluaran Corporate Social Responsibility (CSR) yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak terdiri atas:
a.       Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana;
Pengertian “bencana nasional” adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Sedangkan yang dimaksud dengan “badan penanggulangan bencana“ adalah badan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menampung, menyalurkan, dan/atau mengelola sumbangan yang berkaitan dengan bencana nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
b.      Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan, yang merupakan sumbangan untuk penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah Republik Indonesia yang disampaikan melalui lembaga penelitian dan pengembangan;
Yang dimaksud dengan “penelitian” adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk penelitian di bidang Seni dan Budaya.
Yang dimaksud dengan “pengembangan” adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi.
Yang dimaksud dengan “lembaga penelitian dan pengembangan” adalah lembaga yang didirikan dengan tujuan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan di Indonesia termasuk perguruan tinggi terakreditasi.
c.       Sumbangan fasilitas pendidikan, yang merupakan sumbangan berupa fasilitas pendidikan yang disampaikan melalui lembaga pendidikan;
Yang dimaksud dengan “fasilitas pendidikan” adalah prasarana dan sarana yang dipergunakan untuk kegiatan pendidikan termasuk pendidikan kepramukaan, olahraga, dan program pendidikan di bidang seni dan budaya nasional.
Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan” adalah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, termasuk pendidikan olah raga, seni dan/atau budaya, baik pendidikan dasar dan menengah yang terdaftar pada dinas pendidikan maupun perguruan tinggi terakreditasi.
d.      Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga, yang merupakan sumbangan untuk membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi yang disampaikan melalui lembaga pembinaan olah raga; dan
Yang dimaksud dengan “lembaga pembinaan olahraga” adalah organisasi olahraga yang membina, mengembangkan dan mengoordinasikan suatu atau gabungan organisasi cabang/jenis olahraga prestasi.
Yang dimaksud dengan “olahraga prestasi” adalah olahraga yang membina dan mengembangkan atlit secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
e.      Biaya pembangunan infrastruktur sosial merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Persyaratan Agar Dapat Dikurangkan
Pengeluaran CSR berupa sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk sebagaimana disebutkan di atas dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
  1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya;
  2. pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
  3. didukung oleh bukti yang sah;
  4. lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan; dan
  5. Penerima sumbangan dan/atau biaya CSR bukan pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan dengan Wajib Pajak pemberi.
Contoh penerapan terkait dengan point 2 ini misalnya PT Gunung Raya pada tahun 2009 mempunyai penghasilan neto fiskal sebesar Rp1.000.000.000,00. Pada tahun 2010 Wajib Pajak memberikan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga melalui lembaga pembinaan olahraga sebesar Rp.40.000.000,00. Pada tahun 2010 Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal sebesar Rp30.000.000,00. Wajib Pajak tidak diperkenankan mengurangkan sumbangan tersebut dari penghasilan bruto tahun 2010 karena akan menyebabkan rugi sebesar Rp10.000.000,00.
Batasan Biaya CSR Infrastruktur Sosial Yang Dapat Dikurangkan
Khusus untuk biayas CSR dalam bentuk infrastruktur social, besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya.
Contoh:
Penghasilan neto fiskal Wajib Pajak adalah Rp60.000.000.000,00  maka jumlah sumbangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yaitu maksimal 5% atau sebesar Rp3.000.000.000,00
Apabila Wajib Pajak memberikan sumbangan sebesar Rp5.000.000.000,00 maka yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya sebesar Rp3.000.000.000,00.
Bentuk Sumbangan atau Biaya
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional , penelitian dan pengembangan , fasilitas pendidikan , dan dalam rangka pembinaan olahraga dapat diberikan dalam bentuk uang dan/atau barang. Yang dimaksud “barang” di sini dapat berupa barang yang diproduksi atau diperoleh oleh Wajib Pajak pemberi sumbangan.
Jika diberikan dalam bentuk barang, maka nilai sumbangan ditentukan berdasarkan:
  • nilai perolehan, apabila barang yang disumbangkan belum disusutkan;
  • nilai buku fiskal, apabila barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
  • harga pokok penjualan, apabila barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.
Sementara itu, biaya pembangunan infrastruktur sosial diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana yang nilainya ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun sarana dan/atau prasarana.
Kewajiban Pelaporan Penerima Sumbangan
Badan penanggulangan bencana dan lembaga atau pihak yang menerima sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional harus menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk setiap triwulan.
Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya CSR selain dalam rangka penanggulangan bencana nasional wajib menyampaikan laporan penerimaan sumbangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat pada akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
Lembaga penerima sumbangan dan/atau biaya yang mempunyai NPWP melaporkan sumbangan dan/atau biaya di atas sebagai lampiran laporan keuangan pada SPT Tahunan  Pajak Penghasilan Tahun Pajak diterimanya sumbangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar